Pada Jarak Waktu

Pada jarak waktu yang mengilat
Menyilau mata kala tergesa
Menyisa tanya
Meminta asa

Pada jarak waktu yang mengilat
Mencari kata mewakil jiwa
Menggenang atau tenggelam
Senang atau padam

Pada jarak waktu yang mengilat
Dalam hati berintih-rintih
Menatap jauh ilusi
Merasa kini

Hmh, pada jarak waktu yang mengilat

Kisah Buah Keikhlasan- Muhyiddin

Saya sangat tergugah dengan kisah-kisah keikhlasan yang berbuah manis hingga hari ini. Mereka bukanlah orang-orang yang menikmati gelar-gelar dan kenikmatan semasa hidupnya, tetapi Allah telah menjaga mereka dalam kenikmatan yang jauh lebih kekal insya Allah. Semoga Allah merahmati mereka. Di antara mereka, saya dengar kisahnya pada pengantar tafsir Mishbahul Munir oleh Ust. Muhammad Nuzulul, yaitu Imam Malik rahimahullah. Kisah yang paling menyentuh adalah pada keikhlasan yang begitu indah saat ada yang menanyakan, "Mengapa Anda masih menulis kitab muwatha' padahal telah banyak kitab muwatha'?" lalu beliau menjawab,
"Pekerjaan yang dilakukan karena Allah akan kekal."
Kisah lain pun telah tergores memberi kita isyarat tentang pentignya sebuah keikhlasan.

Namun, kisah yang akan saya bagikan di sini adalah kisah Imam yang lain yang tak kalah menakjubkannya. Kisah seorang Imam yang diberi gelar Muhyiddin (orang yang menghidupkan agama), walau beliau tidak menyukainya. Ya, beliau adalah Imam An-Nawawi rahimahullah. Kisah ini saya ambil dari Riyadhush Shalihin.

Nama
Nama lengkap Imam An-Nawawi rahimahullah adalah Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum'ah bin Hizam.

Gelar dan Panggilan
Imam An-Nawawi rahimahullah dikenal juga dengan kun-yah (nama panggilan) Abu Zakariya, walaupun ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, imam Ahli Hadits ini belum sempat menikah. Ia termasuk ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Imam An-Nawawi mendapat gelar muhyiddin (orang yang menghidupkan agama), namun ia tidak menyukai sebutan kehormatan itu; sebagaimana pernah dikemukakan olehnya: "Aku tidak mengizinkan orang lain memberiku gelar muhyiddin."

Nisbat
Imam An-Nawawi rahimahullah bernasab Al-Hizami. Nasab tersebut disandarkan kepada kakek tertuanya yang bernama Hizam. Sebagian nenek moyangnya menyatakan panggilan itu dinisbatkan atau disandarkan kepada orang tua salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, yaitu Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu. Namun, Syaikh An-Nawawi rahimahullah berkomentar:" Penisbatan ini keliru".

Yahya bin Syaraf dijuluki an-Nawawi karena dilahirkan di Nawa; dijuluki asy-Syafi'i, karena menganut madzhab Asy-Syafi'i, serta dijuluki Ad-Dimasyqi karena tinggal di Damaskus.

Kelahiran
Imam An-Nawawi rahimahullah dilahirkan pada pertengahan bulan Muharram. Namun, ada yang menyatakan bahwa dia dilahirkan pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, tepatnya tahun 631 H di Nawa, sebuah daerah di dataran Hauran, yang termasuk wilayah Damaskus.

Tumbuh Kembang dan Proses Belajar
Imam An-Nawawi rahimahullah diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, Terbukti dari sikap sang ayah yang menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil, hingga ia dapat mengkhatamkan AL-Qur'an ketika mendekati usia baligh, Setelah melihat lingkungan di Nawa tidak kondusif lagi untuk belajar, ia dibawa pergi ke Damaskus oleh ayahnya pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya hampir 19 tahun. Sampai akhirnya ia tinggal di sebuah lembaga pendidikan yang bernama Rawahiyah. Di sanalah ia memulai kembali perjalanannya dalam menuntut ilmu.
Imam An-Nawawi rahimahullah tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Ia rajin dan memberi seluruh waktunya untuk mendalami suatu ilmu, sehingga ilmu itupun memberikan sebagian berkahnya. Alhasil, ia sudah menghafal kitab At-Tanbih fii Furuu'isy Syafi'iyyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi dalam waktu kurang lebih empat setengah bulan. Ia juga telah menghafal seperempat kitab al-Muhadzdzab fil Furuu' pada tahun yang sama.

Setiap hari, Imam An-Nawawi membaca 12 pelajaran (bab ilmu) dalam bentuk syarah dan komentar: dua pelajaran dalam kitab al-Wasiith, satu pelajaran dalam kitab al-Muhadzdzab, satu pelajaran dalam kitab al-Jaami' bainash Shahiihain, satu pelajaran dalam kitab Shahih Muslim, satu pelajaran dalam kitab al-Luma' karya Ibnu Jinni, satu pelajaran dalam kitab Ishlaahul Mantiq, satu pelajaran dalam kitab at-Tashriif, satu lain pelajaran dalam Ushuulul Fiqh, satu pelajaran dalam kitab Asmaa-ur Rijaal, dan satu pelajaran lainnya dalam kitab Ushuluuddin. Ia selalu mengomentari segala bahasan yang berkenaan dengan pelajaran-pelajaran tersebut, baik berupa penjelasan bahasa yang sulit dimengerti, penjabaran ungkapan yang tidak jelas, pemberian harakat pada lafazh-lafazh Arab, maupun penguraian kata-kata yang masih dianggap asing.

Allah subhanahu wata'ala telah memberi berkah kepada Imam An-Nawawi dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia mampu menyusun apa-apa yang disimpulkannya menjadi karya tulis ilmiah; menjadikan karya itu sebagai hasil maksimal dari kesimpulan-kesimpulannya.

(Bersambung)

Titik Tengah: Belajar Naik Motor



Titik Ketiga
Belajar Naik Motor

Hei, apa kau pandai berkendara sepeda motor? Ya? Jika ya, maka kenalkan, aku juga. Jika tidak, yaa dulu pun aku tak bisa tapi sekarang bisa, sih. ^^~

Kau tahu, proses belajar bagiku untuk mampu naik motor seperti sekarang ini (cukup bisa dibilang kompeten) sangat panjang. Dan menurutku, mungkin sebagian besar orang takkan percaya. Aku belajar naik motor selama 3 tahun dulu. Dan selama 3 tahun terlewati itu, kualifikasiku hanyalah: MAMPU. Ya! Hanya sekedar sudah bisa injak gas, rem, dan pegang setir. Itu pun kata mama, setirku sering miring-miring. Boleh dibilang, saat naik motor mungkin aku seperti orang mabuk. Hehe.

Lama, bukan?

Pages