Tampilkan postingan dengan label Think more. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Think more. Tampilkan semua postingan

#Reminder : Hanya Wasilah Saja~

#Yuk, mari sejenak kita muhasabah#

Untuk apa kita menulis?
Apakah karena cita-cita kita ingin menjadi penulis? Penulis terkenal? Untuk apa???

Kenapa kita harus berdakwah di media? Padahal tulisan-tulisan dakwah sudah banyak beredar di jejaring sosial, internet, dsb. Apakah hanya ingin eksis???

Untuk apa kita menjadi seorang penulis?

***

Saudariku, pernahkah engkau mempertanyakan " cita-cita" atau "tujuan" kita? Jika ya, maka semoga ini menjadi bagian tanasuh  (saling menasihati) saja. Untuk sekadar refresh niat kita bergelut dengan kecintaan yang satu ini.

Ada hal yang harus kita pahami bahwa antara tujuan dan washilah terdapat gap yang cukup berbahaya. Tentu dalam hal ini, tentang cara kita memandang "menulis".
Saat kita berkata, "cita-citaku ingin menjadi penulis" maka mungkin saja kita akan mudah terjatuh dalam bentuk ketidakikhlasan yang dikenal dengan "cinta popularitas".
Saudariku, menulis bukanlah tujuan! Ya, bukan sama sekali. Ia hanya washilah saja. Washilah untuk mendapat tujuan utama kita: keridhoan Allah ta'ala. Hanya agar tulisan itu bisa kita bawa menghadap Robb kita bahwa setidaknya kita telah berusaha. Berusaha mendakwahkan dien-Nya dengan potensi yang telah Allah ta'ala titipkan pada diri yang lemah ini. Tulisan kita hanyalah washilah untuk diri kita menggapai ridho-Nya, itu saja tanpa embel-embel.

Makanya, sedikit atau banyak yang membaca tulisanmu, tetaplah menulis. Sedikit atau banyak yang me-'like' tulisanmu, tetaplah menulis. Sebab, tolak ukur diridhoinya pekerjaanmu itu bukan itu semua, kan? Allah ta'ala melihat usahamu. Mau ada atau tidak yang tersentuh dengan tulisanmu, itu pun bukan masalah. Maka, *teruslah menulis*. Para ulama dahulu menjadikan menulis sebagai wasilah mereka menyebarkan kebaikan, bukan bertujuan menjadi seorang penulis terkenal.

Cukuplah perkataan Imam Malik rahimahullah menjadi penguat:
*_pekerjaan yang dilakukan karena Allah pasti akan kekal_*.

Walau sudah banyak media yang mendakwahkan hal yang sama, tetapi, nilai ruhiyah kitalah di sini yang dididik. Lagipula, kita memang sedang "perang" kan dengan media-media thaghut? Daripada saudara(i) kita terjebak dalam kekufuran/kejahilan/kemaksiatan, lebih baik mereka terjebak dalam kebaikan. Menghujani media dengan amar ma'ruf supaya orang-orang kembali memandang yang ma'ruf sebagai kebenaran. Tetapi, sekali lagi, semua dengan izin Allah. Karena keberadaan kita memang hanya ditujukan untuk-Nya. Dan tulisan kita hanyalah washilah saja. :)

#reminder #for_me
#bemuslimahkaffah

Terkadang~

Terkadang sesuatu itu sudah baik, hanya saja, orangnya belum tepat. Bukan berarti sesuatu itu harus diubah karena memang di carut-marutnya dunia ini, kita tetap butuh sosok yang teguh dengan idealitas. Mungkin, mengelola orangnya itu yang perlu dikaji ulang. Sebab boleh jadi, orang itu tepat untuk hal yang lain. Ya, bagaimanapun, pengorbanan harus dilakukan walau sama-sama baik.

#curcol #lagi

Titik Tengah: Kaki-kaki Semut


Kelelahan membuatku merebahkan diri pada lantai di rumah. Saat itu, aku melihat jejeran semut-semut merah. Ehm, aku sedang tidak membahas saintifik semut yang saling bersalaman ketika berjumpa. Saat itu, aku hanya memperhatikan kaki-kaki mungil semut itu.

Ehm, tak terbayang ya betapa mungil dan kecilnya kaki semut. Tapi, uniknya, kaki-kaki mungil itu tak pernah lelah berjalan begitu jauhnnya hanya untuk satu remah roti. Bagi kita, jarak antara ruang tamu ke dapur mungkin cuman berapa langkah saja, tapi, bagi si semut, itu seakan antara Makassar ke Mamuju alias berkilo-kilo jauhnya. Tapi, kaki mungil itu tak pernah menyerah.

Sedikit, aku merasa takjub dan rendah dibandingkan semut-semut itu. Semut-semut itu penuh dengan tawakkal dan penuh rasa syukur kepada Robbnya. Perjalanan yang jauh mungkin tak pelak hanya membuat mereka menemukan makanan yang sedikit. Tapi, yang mereka tahu tetaplah berjuang dan berusaha.

Kita dan semut itu punya satu kesamaan. Kita punya insting untuk bertahan hidup. Tapi dari berbagai sisi, Allah telah melebihkan kita atas semut dengan adanya akal sehat serta ukuran tubuh yang lebih besar. Hanya saja, kadang dalam satu titik, semut mungil itu bisa jadi lebih baik dari kita. Ketika kita telah berputus asa, ketika kita begitu serakah.

Kaki-kaki semut itu mengajar banyak hal kepadaku.

Titik Tengah: Antara "Waktu Belajar" dan "Belajar Waktu"

"Tujuan utama hidup kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah. Berusaha keras dan biarkan Allah melihatnya. Hasil bukanlah poin utamanya, tapi proseslah yang dilihat-Nya. Tawakkal atau putus asa." (F.A)

Baiklah, mungkin judulnya agak sedikit ngaco kali ya kalau mau dibuatkan perbedaannya. Karena kedua hal tersebut jelas berbeda dan sedikit berbelit-belit. Intinya, saat memutar waktu dan belajar di posisi yang berbeda sebagai subjek maka kita akan tahu bahwa sebenarnya keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tapi, hasil atau efeknya mungkin akan cukup berbeda.
Waktu dari belajar, waktu tentang belajar. Memanfaatkan waktu untuk belajar. Waktu Belajar.
Sedangkan yang satunya, belajar dari waktu. Belajar tentang waktu. Mengupayakan dan mengoptimalkan diri untuk mengambil pelajaran dari tiap waktu yang berlalu. Belajar waktu.

Keduanya sama-sama baik dan bermanfaat, dan kita tak boleh hanya sekedar memilih salah satu. Ketika kita hanya sekedar memanfaatkan waktu untuk belajar tanpa secara real mengambil pelajaran atas waktu yang telah berlalu, dari pengalaman yang terjadi, dan kehidupan yang kita jalani; mungkin kita akan berhasil, tapi nilainya akan berkurang. Hanya seperti robot yang bekerja atas pelajaran akademik dan mengabaikan sosial. Seperti memaksakan diri menyediakan waktu banyak untuk belajar tapi tak juga membekas.
Sebaliknya, hanya sekedar belajar tentang waktu, belajar dari pengalaman tanpa secara serius memanfaatkan waktu juga hasilnya akan melayang-layang. Hanya sekedar melihat-lihat suasana buruk tapi tidak mau memperbaiki. Tahu rumah berantakan, tetap saja berkutat seperti itu sampai nanti sakit parah baru mau membersihkan dan menjaga sanitasi. Well, nasi udah menjadi bubur.

Saat ada yang mengatakan, "kita nggak tahu apa yang terjadi nanti", itu adalah pesan emas 24 karat. Hari ini walau sulit, kita harus tetap berjuang dan menyerahkan semua hasilnya kepada Allah. Karena benar, kita nggak pernah tahu kemana Allah membawa takdir kita. Jika sesuai yang kita inginkan, alhamdulillah. Namun jika tidak, di sinilah apa yang kita usahakan akan sangat berpengaruh.

Belajar dari waktu membuat perasaanku sedikit bercampur aduk. Awalnya kukira, memanfaatkan waktu untuk mempelajari sesuatu adalah satu hal saja. Tapi, aku lupa. Waktu itu bergerak. Setiap detik akan membawa kita ke suasana berbeda, situasi berbeda. Entah baik atau buruk menurut kita. Dan ketika hanya terfokus pada yang lalu-lalu dan sekedar memanfaatkan waktu maka akan sulit diri kita menjalani masa kini. Belajar dari waktu dulu, kini, dan mungkin tiap saat supaya menambah kebijaksanaan kita.


Pada Jarak Waktu

Pada jarak waktu yang mengilat
Menyilau mata kala tergesa
Menyisa tanya
Meminta asa

Pada jarak waktu yang mengilat
Mencari kata mewakil jiwa
Menggenang atau tenggelam
Senang atau padam

Pada jarak waktu yang mengilat
Dalam hati berintih-rintih
Menatap jauh ilusi
Merasa kini

Hmh, pada jarak waktu yang mengilat

Titik Tengah: Belajar Naik Motor



Titik Ketiga
Belajar Naik Motor

Hei, apa kau pandai berkendara sepeda motor? Ya? Jika ya, maka kenalkan, aku juga. Jika tidak, yaa dulu pun aku tak bisa tapi sekarang bisa, sih. ^^~

Kau tahu, proses belajar bagiku untuk mampu naik motor seperti sekarang ini (cukup bisa dibilang kompeten) sangat panjang. Dan menurutku, mungkin sebagian besar orang takkan percaya. Aku belajar naik motor selama 3 tahun dulu. Dan selama 3 tahun terlewati itu, kualifikasiku hanyalah: MAMPU. Ya! Hanya sekedar sudah bisa injak gas, rem, dan pegang setir. Itu pun kata mama, setirku sering miring-miring. Boleh dibilang, saat naik motor mungkin aku seperti orang mabuk. Hehe.

Lama, bukan?

Share: 31 Sebab Lemahnya Iman

31 Sebab Lemahnya Iman
Hussain Muhammad Syamir
Bismillahirrahmaanirrahiim

Judul Buku: 31 Sebab Lemahnya Iman (Al-Ilmaam fii asbaabi dha'fi)
Penulis : Hussain Muhammad Syamir
Penerjemah : Musthafa Aini
Penerbit :  Darul Haq, Jakarta
Tebal : x+180 hlm; 17,5 cm
Tahun terbit : 2001
ISBN : 979-9137-62-4

Saya sangat ingin membagi judul buku yang sangat menakjubkan ini. Jujur saja, setelah sekian lama saya hanya membaca-baca sekilas alias tidak konsisten, membaca buku ini adalah pilihan yang sangat tepat. Alhamdulillah, mungkin ini adalah buku ke-3 atau ke-4 yang benar-benar saya khatamkan dengan sempurna dimulai dari muqaddimah hingga akhir. Ya, boleh dikata, saya memang tipe orang yang mudah bosan membaca secara konsisten pada satu buku sehingga seringnya membaca setengah lalu meninggalkannya. Yang mempu saya khatamkan berulang-ulang hanyalah kitabullah.
Nah, dengan jumlah halaman yang tidak begitu tebal, lebih bisa dikatakan buku saku; buku ini sangat indah membahas perkara yang kebanyakan manusia lengah di dalamnya. Terutama, kita yang hidup dalam hiruk-pikuk dunia secara umum yang tidak mengkhususkan diri terhadap ilmu ad-dien ini maka buku ini sangat penting untuk kita baca.

Titik Tengah: Bermula dari Sini

Bismillahirrahmaanirrahiim

Titik Kedua

Ada saat keikhlasan kita diuji. Mungkin bukan saat kita melakukan kegiatan baik itu, mungkin beberapa lama setelahnya. Saat puing memori amal itu menyeruak, menyesakkan dada. Meminta keadilan terhadap sesuatu yang tak mungkin lagi terputar balik.

Titik Pertengahan: Hidup


Bismillah
Dengan nama Allah

Ar-rahmaan
Yang Maha Pemurah

Ar-rahiim
Yang Maha Penyayang

*******************
Detik ini, aku ingin mulai menuliskan kisah yang rasanya cukup lama terpendam. Pernah menjadi tulisan yang ketika kubaca kembali membuatku tersadar, betapa naifnya diriku.
Rasanya, sudah beberapa lama dan berkali-kali aku melalui fase ini, fase jatuh bangun secara mental dan akal.
Untukmu, yang membaca ini. Mungkin kenal, mungkin pula tidak. Tapi, bagaimanapun, aku ingin membaginya. Dengan satu tujuan saja. Untuk membagi pelajaran berharga selama 20 tahun lebih kehidupanku.
Aku bukanlah siapa-siapa. Sungguh.
Tanpa prestasi, tanpa presisi, tanpa gelar kehormatan. Hanya anak manusia, sama sepertimu. Bahkan jika kau telah mengenalku pun. Aku sangat meragukannya. Heh, rasanya lucu. Bahkan dengan membaca tulisanku ini pun aku tak menjamin bahwa kau sungguh akan mengenalku. Karena aku tak bermaksud memperkenalkan diriku melalui tulisan ini, juga tak bermaksud dikenal.
Dengan tulisan ini aku hanya berharap, kau dapat mengambil pelajaran. Dari satu pasang mata yang menatap dunia. Kau melihat dengan mataku memandang dunia. Dari satu tulisan sederhana ini.
Jadi, buanglah dulu citra diriku yang telah kau kenal. Anggaplah kau tak mengenalku. Dan rasai tulisan ini sebagai dirimu.

*******************

Saat Kita Bertanya tentang Kita

Saat kita bertanya tentang kita
Tentang jati diri sebenarnya dan hakikinya

Saat kita bertanya tentang kita
Tentang jiwa yang tak tentram dan penuh kebingungan

Saat kita bertanya tentang kita
Tentang kesedihan yang menggelayut dan derita yang tak kunjung reda

Saat kita bertanya tentang kita
Tentang diri yang bergelora tetapi hampa di dalamnya

Saat kita bertanya tentang kita
Siapa sebenarnya dan yang manakah sejatinya?

Maka ketahuilah, setiap bayi yang lahir ke dunia
Lahir dengan fitrah
Fitrah untuk menjadi hamba yang senantiasa rindu pada Tuhannya
Lahir dengan fitrah
Fitrah untuk menjadi hamba yang senantiasa ingin dekat pada Tuhannya
Lahir dengan fitrah
Fitrah hanya untuk beribadah kepada-Nya
Menjadi hamba yang dihias takwa sebagai pakaiannya
Dan akhlak mulia adalah perhiasannya

Maka saat kita bertanya tentang kita
Kembali ke fitrah, itu jawabnya

------------- Bumi Allah, Makassar-----------------

Sebab lingkungan lah yang membentuk karakter kita, namun terkadang mengaburkan jati diri kita. Jati diri sebagai seorang muslim/ah dirindu surga.

Belajar dari Pohon Kurma

Bismillah.

Bulan Ramadhan, entah sudah kali ke berapa kita menghirup sejuknya bulan ini, dan sudah berapa pelajaran yang terekam di sanubari kita mengenai bulan penuh berkah ini. Syukur yang sangat besar terus terucap dari lisan ini sebab kesempatan bertemu dengannya adalah tanda kesempatan rahmat pula yang begitu besar bagi diri.

Ini hanyalah catatan kecil yang kudapatkan selepas bermajelis kemarin. Tentang salah satu perumpamaan dari banyaknya perumpamaan yang Allah berikan dalam kalam-Nya. Yah, dan betapa menakjubkan peumpamaan-perumpamaan yang Allah berikan kepada kita, manusia.
Gambaran ini termaktub dalam Qur'an surah Ibrahim: 24-25

Hidup Menunjukkan Cakarnya

Hidup menunjukkan cakarnya saat titik kedewasaan ingin kita raih. Tiap orang akan melihat cakar berbeda. Dan akan menghadapi cakar itu sesuai pola pikirnya. Peringatan dan cara menghadapinya sebenarnya telah diberikan, hanya saja, ada yang mengambil dan ada yang tidak mengindahkan.


Hidup telah menunjukkan cakarnya. Karena masing-masing orang telah melihatnya. Di tiap sudut kamar sebelum terlelap, auman yang memekakkan telinga akan keganasan seakan menjadi pelengkap harian.

Hati kadang begitu naif. Menyaksikan segala sudut yang memungkinkan sehingga kadang membuatnya lemah. Prinsip. Entah prinsip apa yang ia harus pegang untuk menguatkan pundak dan langkah. Kadang, itu yang terbetik sejenak.

Lemah. Ya. Proses menguatkan diri, mungkin sedang berjalan saat menyadari kelemahan. Lemah menghadapi cengkraman cakar yang bahkan tak pernah terpikir sebelumnya. Tapi, manusia punya sifat kuat bertahan hidup. Sayangnya, tekad kuat takkan berkutik saat semuanya terlambat.

Follow me:
http://zaza17azza.tumblr.com/

Explanation on Behavior


Maybe this isn't always be right.
But sometimes, somehow, people take advices or realization by drama in their lifes. Or, a sad story which plays in their head and they as the main role.
Human.
We ourselves cannot describe it well, is it good, is it evil. People who speculate about the being said "it depends on the person". Yeah, depending. Proability.
But, what could actually, exactly, tell us about why people choose. Why can they choose. Because of the brain. Then, tell me. Why is it two persons who lived in the same environment, and even maybe they are twins, identical, everything in the same condition and the same amount, weight, and type of the brain. But, why is it they have another differences, in their likes, their dislikes, their hobby. And maybe many more in psychlogical aspects.
Mindset.
What is it so wrong in about mindset? The way people choose their mindset, the way they act and do something, It's not about DNA. Or at least, DNA is just playing a really small role.
Can you explain?


Well,
There are people who do not believe in God. Ironically, they even a scientist. They said that God is not a logic thing. It's not a real.
For me, I believe in God. I believe in Allah ta'ala. I believe, because Allah is the only logic answer of all questions which pop up in my mind.
I may not as smart or brilliant as those mad scientist. But, I know one, in this case, I am more better than them.
Why don't they learn qur'an?

Pages