Titik Tengah: Hujan


Aku melihat 3 orang anak SD berlari-lari di tengah genangan hujan. Kelihatannya, seakan mereka menghindari genangan itu. Tapi dari raut wajah mereka yang tersenyum lebar, mereka menikmatinya.

Aku melihat beberapa siswi SMP berlari-lari menutup kepala mereka dari rintik hujan. Kelihatannya mereka membencinya, tapi dari tawa mereka, mereka menyukainya.

Kadang hati memang lucu. Secara zhahir kita melihat seakan orang-orang tak menyukai sesuatu, tapi jauh di lubuk hatinya, mereka menyukai dan menikmatinya. Bahkan, mereka merindukan saat-saat semisal itu.

Hujan.

Rintik yang dirindukan bumi, jua makhluk di dalamnya. Membawa sensasi sejuk dan menyenangkan untuk bersantai.
Menyimpan jutaan pelajaran untuk kita renungkan dan gali.
Menjadi perumpamaan yang begitu indah.

Pagi ini aku memperhatikan jalan-jalan raya. Tak tampak bekas lebatnya hujan semalam. Dan aku berpikir betapa Maha Besarnya Penciptanya karena bersama hujan juga meniupkan angin sehingga walaupun jalanan basah karena hujan, ia tetap bisa kering karena angin.
Aku tak tahu analogi apa yang pantas untuk hal semacam ini. Tapi, aku bersyukur karena hujan datang walau terlambat.
Aku selalu mengingat saat-saat kemarin. Saat ketika aku sangat merindukannya. Saat ketika mentari begitu terik dan asap terus mengepul di belahan Indonesia yang lain. Betapa beratnya saat itu, pikirku.
Bukannya kita harus bersyukur? Daripada memikirkan keburukan keadaan yang kita hadapi sekarang, harusnya kita memikirkan betapa bahagianya kita hari ini.

Aku juga begitu.

Mungkin, aku terlalu sering mengkhayalkan keadaan yang tak cocok untuk diriku. Dengan kelemahanku, itu juga kekuatanku. Harusnya, aku sadar.

Ya, selamat datang hujan!

Titik Tengah: Kaki-kaki Semut


Kelelahan membuatku merebahkan diri pada lantai di rumah. Saat itu, aku melihat jejeran semut-semut merah. Ehm, aku sedang tidak membahas saintifik semut yang saling bersalaman ketika berjumpa. Saat itu, aku hanya memperhatikan kaki-kaki mungil semut itu.

Ehm, tak terbayang ya betapa mungil dan kecilnya kaki semut. Tapi, uniknya, kaki-kaki mungil itu tak pernah lelah berjalan begitu jauhnnya hanya untuk satu remah roti. Bagi kita, jarak antara ruang tamu ke dapur mungkin cuman berapa langkah saja, tapi, bagi si semut, itu seakan antara Makassar ke Mamuju alias berkilo-kilo jauhnya. Tapi, kaki mungil itu tak pernah menyerah.

Sedikit, aku merasa takjub dan rendah dibandingkan semut-semut itu. Semut-semut itu penuh dengan tawakkal dan penuh rasa syukur kepada Robbnya. Perjalanan yang jauh mungkin tak pelak hanya membuat mereka menemukan makanan yang sedikit. Tapi, yang mereka tahu tetaplah berjuang dan berusaha.

Kita dan semut itu punya satu kesamaan. Kita punya insting untuk bertahan hidup. Tapi dari berbagai sisi, Allah telah melebihkan kita atas semut dengan adanya akal sehat serta ukuran tubuh yang lebih besar. Hanya saja, kadang dalam satu titik, semut mungil itu bisa jadi lebih baik dari kita. Ketika kita telah berputus asa, ketika kita begitu serakah.

Kaki-kaki semut itu mengajar banyak hal kepadaku.

Titik Tengah: Antara "Waktu Belajar" dan "Belajar Waktu"

"Tujuan utama hidup kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah. Berusaha keras dan biarkan Allah melihatnya. Hasil bukanlah poin utamanya, tapi proseslah yang dilihat-Nya. Tawakkal atau putus asa." (F.A)

Baiklah, mungkin judulnya agak sedikit ngaco kali ya kalau mau dibuatkan perbedaannya. Karena kedua hal tersebut jelas berbeda dan sedikit berbelit-belit. Intinya, saat memutar waktu dan belajar di posisi yang berbeda sebagai subjek maka kita akan tahu bahwa sebenarnya keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tapi, hasil atau efeknya mungkin akan cukup berbeda.
Waktu dari belajar, waktu tentang belajar. Memanfaatkan waktu untuk belajar. Waktu Belajar.
Sedangkan yang satunya, belajar dari waktu. Belajar tentang waktu. Mengupayakan dan mengoptimalkan diri untuk mengambil pelajaran dari tiap waktu yang berlalu. Belajar waktu.

Keduanya sama-sama baik dan bermanfaat, dan kita tak boleh hanya sekedar memilih salah satu. Ketika kita hanya sekedar memanfaatkan waktu untuk belajar tanpa secara real mengambil pelajaran atas waktu yang telah berlalu, dari pengalaman yang terjadi, dan kehidupan yang kita jalani; mungkin kita akan berhasil, tapi nilainya akan berkurang. Hanya seperti robot yang bekerja atas pelajaran akademik dan mengabaikan sosial. Seperti memaksakan diri menyediakan waktu banyak untuk belajar tapi tak juga membekas.
Sebaliknya, hanya sekedar belajar tentang waktu, belajar dari pengalaman tanpa secara serius memanfaatkan waktu juga hasilnya akan melayang-layang. Hanya sekedar melihat-lihat suasana buruk tapi tidak mau memperbaiki. Tahu rumah berantakan, tetap saja berkutat seperti itu sampai nanti sakit parah baru mau membersihkan dan menjaga sanitasi. Well, nasi udah menjadi bubur.

Saat ada yang mengatakan, "kita nggak tahu apa yang terjadi nanti", itu adalah pesan emas 24 karat. Hari ini walau sulit, kita harus tetap berjuang dan menyerahkan semua hasilnya kepada Allah. Karena benar, kita nggak pernah tahu kemana Allah membawa takdir kita. Jika sesuai yang kita inginkan, alhamdulillah. Namun jika tidak, di sinilah apa yang kita usahakan akan sangat berpengaruh.

Belajar dari waktu membuat perasaanku sedikit bercampur aduk. Awalnya kukira, memanfaatkan waktu untuk mempelajari sesuatu adalah satu hal saja. Tapi, aku lupa. Waktu itu bergerak. Setiap detik akan membawa kita ke suasana berbeda, situasi berbeda. Entah baik atau buruk menurut kita. Dan ketika hanya terfokus pada yang lalu-lalu dan sekedar memanfaatkan waktu maka akan sulit diri kita menjalani masa kini. Belajar dari waktu dulu, kini, dan mungkin tiap saat supaya menambah kebijaksanaan kita.


Pada Jarak Waktu

Pada jarak waktu yang mengilat
Menyilau mata kala tergesa
Menyisa tanya
Meminta asa

Pada jarak waktu yang mengilat
Mencari kata mewakil jiwa
Menggenang atau tenggelam
Senang atau padam

Pada jarak waktu yang mengilat
Dalam hati berintih-rintih
Menatap jauh ilusi
Merasa kini

Hmh, pada jarak waktu yang mengilat

Kisah Buah Keikhlasan- Muhyiddin

Saya sangat tergugah dengan kisah-kisah keikhlasan yang berbuah manis hingga hari ini. Mereka bukanlah orang-orang yang menikmati gelar-gelar dan kenikmatan semasa hidupnya, tetapi Allah telah menjaga mereka dalam kenikmatan yang jauh lebih kekal insya Allah. Semoga Allah merahmati mereka. Di antara mereka, saya dengar kisahnya pada pengantar tafsir Mishbahul Munir oleh Ust. Muhammad Nuzulul, yaitu Imam Malik rahimahullah. Kisah yang paling menyentuh adalah pada keikhlasan yang begitu indah saat ada yang menanyakan, "Mengapa Anda masih menulis kitab muwatha' padahal telah banyak kitab muwatha'?" lalu beliau menjawab,
"Pekerjaan yang dilakukan karena Allah akan kekal."
Kisah lain pun telah tergores memberi kita isyarat tentang pentignya sebuah keikhlasan.

Namun, kisah yang akan saya bagikan di sini adalah kisah Imam yang lain yang tak kalah menakjubkannya. Kisah seorang Imam yang diberi gelar Muhyiddin (orang yang menghidupkan agama), walau beliau tidak menyukainya. Ya, beliau adalah Imam An-Nawawi rahimahullah. Kisah ini saya ambil dari Riyadhush Shalihin.

Nama
Nama lengkap Imam An-Nawawi rahimahullah adalah Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum'ah bin Hizam.

Gelar dan Panggilan
Imam An-Nawawi rahimahullah dikenal juga dengan kun-yah (nama panggilan) Abu Zakariya, walaupun ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, imam Ahli Hadits ini belum sempat menikah. Ia termasuk ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Imam An-Nawawi mendapat gelar muhyiddin (orang yang menghidupkan agama), namun ia tidak menyukai sebutan kehormatan itu; sebagaimana pernah dikemukakan olehnya: "Aku tidak mengizinkan orang lain memberiku gelar muhyiddin."

Nisbat
Imam An-Nawawi rahimahullah bernasab Al-Hizami. Nasab tersebut disandarkan kepada kakek tertuanya yang bernama Hizam. Sebagian nenek moyangnya menyatakan panggilan itu dinisbatkan atau disandarkan kepada orang tua salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, yaitu Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu. Namun, Syaikh An-Nawawi rahimahullah berkomentar:" Penisbatan ini keliru".

Yahya bin Syaraf dijuluki an-Nawawi karena dilahirkan di Nawa; dijuluki asy-Syafi'i, karena menganut madzhab Asy-Syafi'i, serta dijuluki Ad-Dimasyqi karena tinggal di Damaskus.

Kelahiran
Imam An-Nawawi rahimahullah dilahirkan pada pertengahan bulan Muharram. Namun, ada yang menyatakan bahwa dia dilahirkan pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, tepatnya tahun 631 H di Nawa, sebuah daerah di dataran Hauran, yang termasuk wilayah Damaskus.

Tumbuh Kembang dan Proses Belajar
Imam An-Nawawi rahimahullah diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, Terbukti dari sikap sang ayah yang menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil, hingga ia dapat mengkhatamkan AL-Qur'an ketika mendekati usia baligh, Setelah melihat lingkungan di Nawa tidak kondusif lagi untuk belajar, ia dibawa pergi ke Damaskus oleh ayahnya pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya hampir 19 tahun. Sampai akhirnya ia tinggal di sebuah lembaga pendidikan yang bernama Rawahiyah. Di sanalah ia memulai kembali perjalanannya dalam menuntut ilmu.
Imam An-Nawawi rahimahullah tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Ia rajin dan memberi seluruh waktunya untuk mendalami suatu ilmu, sehingga ilmu itupun memberikan sebagian berkahnya. Alhasil, ia sudah menghafal kitab At-Tanbih fii Furuu'isy Syafi'iyyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi dalam waktu kurang lebih empat setengah bulan. Ia juga telah menghafal seperempat kitab al-Muhadzdzab fil Furuu' pada tahun yang sama.

Setiap hari, Imam An-Nawawi membaca 12 pelajaran (bab ilmu) dalam bentuk syarah dan komentar: dua pelajaran dalam kitab al-Wasiith, satu pelajaran dalam kitab al-Muhadzdzab, satu pelajaran dalam kitab al-Jaami' bainash Shahiihain, satu pelajaran dalam kitab Shahih Muslim, satu pelajaran dalam kitab al-Luma' karya Ibnu Jinni, satu pelajaran dalam kitab Ishlaahul Mantiq, satu pelajaran dalam kitab at-Tashriif, satu lain pelajaran dalam Ushuulul Fiqh, satu pelajaran dalam kitab Asmaa-ur Rijaal, dan satu pelajaran lainnya dalam kitab Ushuluuddin. Ia selalu mengomentari segala bahasan yang berkenaan dengan pelajaran-pelajaran tersebut, baik berupa penjelasan bahasa yang sulit dimengerti, penjabaran ungkapan yang tidak jelas, pemberian harakat pada lafazh-lafazh Arab, maupun penguraian kata-kata yang masih dianggap asing.

Allah subhanahu wata'ala telah memberi berkah kepada Imam An-Nawawi dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia mampu menyusun apa-apa yang disimpulkannya menjadi karya tulis ilmiah; menjadikan karya itu sebagai hasil maksimal dari kesimpulan-kesimpulannya.

(Bersambung)

Titik Tengah: Belajar Naik Motor



Titik Ketiga
Belajar Naik Motor

Hei, apa kau pandai berkendara sepeda motor? Ya? Jika ya, maka kenalkan, aku juga. Jika tidak, yaa dulu pun aku tak bisa tapi sekarang bisa, sih. ^^~

Kau tahu, proses belajar bagiku untuk mampu naik motor seperti sekarang ini (cukup bisa dibilang kompeten) sangat panjang. Dan menurutku, mungkin sebagian besar orang takkan percaya. Aku belajar naik motor selama 3 tahun dulu. Dan selama 3 tahun terlewati itu, kualifikasiku hanyalah: MAMPU. Ya! Hanya sekedar sudah bisa injak gas, rem, dan pegang setir. Itu pun kata mama, setirku sering miring-miring. Boleh dibilang, saat naik motor mungkin aku seperti orang mabuk. Hehe.

Lama, bukan?

Share: 31 Sebab Lemahnya Iman

31 Sebab Lemahnya Iman
Hussain Muhammad Syamir
Bismillahirrahmaanirrahiim

Judul Buku: 31 Sebab Lemahnya Iman (Al-Ilmaam fii asbaabi dha'fi)
Penulis : Hussain Muhammad Syamir
Penerjemah : Musthafa Aini
Penerbit :  Darul Haq, Jakarta
Tebal : x+180 hlm; 17,5 cm
Tahun terbit : 2001
ISBN : 979-9137-62-4

Saya sangat ingin membagi judul buku yang sangat menakjubkan ini. Jujur saja, setelah sekian lama saya hanya membaca-baca sekilas alias tidak konsisten, membaca buku ini adalah pilihan yang sangat tepat. Alhamdulillah, mungkin ini adalah buku ke-3 atau ke-4 yang benar-benar saya khatamkan dengan sempurna dimulai dari muqaddimah hingga akhir. Ya, boleh dikata, saya memang tipe orang yang mudah bosan membaca secara konsisten pada satu buku sehingga seringnya membaca setengah lalu meninggalkannya. Yang mempu saya khatamkan berulang-ulang hanyalah kitabullah.
Nah, dengan jumlah halaman yang tidak begitu tebal, lebih bisa dikatakan buku saku; buku ini sangat indah membahas perkara yang kebanyakan manusia lengah di dalamnya. Terutama, kita yang hidup dalam hiruk-pikuk dunia secara umum yang tidak mengkhususkan diri terhadap ilmu ad-dien ini maka buku ini sangat penting untuk kita baca.

Pages