Sumber: Republika.co.id |
Di dalam
kehidupan, setiap manusia pasti menginginkan kebahagiaan. Namun demikian, makna
dan arti kebahagiaan akan berbeda alias relatif bagi masing-masing mereka.
Saking pentingnya kebahagiaan dalam hidup seseorang, banyak buku yang membahas
mengenai masalah ini. Sebut saja The
Happiness Project (Gretchen Rubin), The
Happiness Hypothesis (Jonathan Haidt), Stumbling
on Happiness (Daniel Gilbert); dari Indonesia seperti Sabar dan Syukur “bikin hidup lebih bahagia” (Yunus Hanis Syam), Surga dan Bahagia (dr. Inca H. Bintang),
Bahagia itu Sederhana (Tukiyo Suryo
Atmojo), dan masih banyak lagi. Bukan hanya itu, bahkan quote yang unik-unik pun dibuat untuk menunjukkan cara mereka
memandang kebahagiaan. Contohnya seperti pada akun twitter Happiness is (@damnhappyyy) yang bahkan membuat plesetan sederhana
tentang kebahagiaan. Secara alamiah, memang manusia sangat ingin merasakan
ketentraman di dalam hatinya dan kebahagiaan seakan menjawab semuanya. Lalu,
siapa pula yang menyangka bahwa uang pun dapat membeli kebahagiaan?
Selama ini kita
mendengar perkataan orang-orang bahwa uang tidaklah dapat membeli semuanya,
terutama kebahagiaan. Tapi, seperti apa maksud “uang membeli kebahagiaan”?
Kebahagiaan seperti apa yang dibeli? Mari kita simak beberapa penelitian yang
telah dilakukan terkait hubungan uang dan kebahagiaan yang dilansir dari
medicaldaily.com.
Para peneliti
pada 27 Februari lalu menghadiri
symposium di Long Branch, Calif, untuk menemukan dan membahas mengenai masalah
ini. Simposium yang diadakan dengan tema “Happy Money 2.0: New Insight Into The Relationship Between Money and Well-Being”
merupakan acara yang dilakukan untuk merayakan 16 tahun Social Psychology dan Society
for Personality. Pada kegiatan ini, dijabarkan 4 paper penelitian yang secara
sederhana bertujuan untuk menjawab apakah uang bisa atau tidak membeli
kebahagiaan.
Studi 2014 yang
dipublikasikan pada Journal of Positive
Psychology sebelumnya telah menjawab pertanyaan ini setelah mereka
menemukan bahwa orang yang menghabiskan uangnya untuk merasakan pengalaman
lebih bahagia daripada menghabiskannya untuk barang-barang material atau
properti mewah. Amit Kumar seorang
mahasiswa doctoral Program Psikologi di Cornell University yang mengemukakan
lebih lanjut alasan hal ini, yaitu perasaan antisipatif untuk pembelian
pengalaman cenderung lebih menyenangkan, tidak terburu-buru dibandingkan
perlengkapan atau property mewah yang
kita inginkan untuk dibeli. Hal yang serupa disebutkan oleh Jordi Quoidbach
menemukan bahwa harta dan kekayaan yang berlimpah dapat meruntuhkan apresiasi
dan mengurangi emosi positif yang dialami pada kehidupan sehari-hari. Anda
tahu: banyak uang, banyak masalah. Dalam hal ini uang dalam bentuk property
akan tersimpan secara simbolis yang menunjukkan kelimpahan harta si pemilik. Berbeda
dengan pengalaman yang tersimpan secara emosional.
Hal ini juga senada
disebutkan oleh peneliti dari Harvard Business School, University of Manheim,
dan Yale University yang menunjukkan bahwa peningkatan kekayaan tidak seimbang
dengan peningkatan kebahagiaan. Faktanya, peneliti berspekulasi bahwa
kebahagiaan secara negative berbanding dengan pendapatan.
Pada sebagian
besar kasus, menghabiskan uang untuk pengalaman mengarahkan pada kebahagiaan
lebih. Lagipula item-item material suatu saat akan rusak.
Menanggapi
masalah ini, sekali lagi, tiap orang memiliki kecenderungan tertentu tetapi
hidup sederhana memang jauh lebih menentramkan dan menyenangkan, bukan?
Teringat dengan seorang Presiden di Uruguay, Jose Mujica, yang dijuluki
“Presiden Termiskin di dunia” karena hidupnya yang sederhana. Memberikan uang
untuk pengalaman berbagi, pengalaman berharga akan memberikan dampak
kebahagiaan pada yang member pula.
Jadi, Apakah
Anda siap membeli kebahagiaan?
http://www.medicaldaily.com/money-my-mind-spending-future-experiences-leads-greater-happiness-well-being-323808
Ini salah satu artikel yang sebagian besar isinya adalah terjemahan. MINAT JASA TRANSLATER MURAH ENG-INDO, INDO-ENG. Bisa Nego. email: fatimah.zahra9@gmail.com
:)
0 komentar:
Posting Komentar